Roket Jaringan Teror Batam Belum Ditemukan
2016.08.08
Jakarta & Palu

Tim Densus 88 Polri terus memburu jaringan teroris Batam yang dituding merencanakan serangan roket ke kawasan Marina Bay di Singapura. Tapi hingga Senin, 8 Agustus 2016, bukti bahan pembuatan roket tak ditemukan.
“Roketnya belum ditemukan. Mungkin mereka hanya merencanakan untuk menggunakan alat tersebut saat melakukan aksinya,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen. Pol. Agus Rianto kepada BeritaBenar di Jakarta.
“Terkait jenis apa, seperti apa bentuknya, kami belum dapat detailnya,” tambahnya.
Seperti diberitakan sebelumnya bahwa dalam penggerebekan di beberapa lokasi, Jumat pagi, Densus 88 menangkap enam pria yang diduga terlibat jaringan teror terkait Bahrun Naim, warga Indonesia yang telah bergabung dengan pasukan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Agus menambahkan, polisi menyita beberapa barang bukti seperti senjata api, senapan angin, alat elektronik, panah, paspor, kamera, dan sejumlah uang tunai.
“Kami akan terus kembangkan ini agar masyarakat merasa aman termasuk di dalamnya menyelidiki dan melakukan tindak pencegahan,” ujarnya.
Meski belum mengetahui jumlah pasti jaringan Katibah Gigih Rahmat (KGR), kelompok militan yang diyakini berada di belakang rencana serangan roket itu, Agus menegaskan polisi akan terus mengusut jaringan itu.
“Tidak hanya Batam, tapi juga daerah lain di Indonesia. Kami akan mengupayakan menangkap sebelum mereka melakukan aksi teror,” katanya.
Agus juga mengatakan satu dari enam pria yang ditangkap Jumat lalu sudah dibebaskan dan diantar ke orang tuanya Sabtu pagi, karena tidak terbukti terlibat dalam jaringan yang sering disamarkan sebagai “Kitabah Gonggong Rebus.”
“Yang dipulangkan MTS (19). Saat ini yang kita proses masih lima orang dan menurut rencana akan diproses di Jakarta. Mereka akan tiba dalam 1-2 hari lagi,” jelas Agus.
Hanya wacana
Pakar teroris dari Universitas Indonesia, Wawan Purwanto, mengatakan polisi telah lama memonitor kelompok KGR.
“Ditemukan kalau jaringan ini berhubungan dengan Bahrun Naim dari hal pendanaan, tempat sembunyi, dan penyedia logistik,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Wawan menilai, rencana menyerang Singapura masih wacana. Apalagi, rencana tersebut menggunakan roket yang diluncurkan dari Batam ke Marina Bay.
“Terkait sampai Singapura atau tidak, mungkin saja. Namun tergantung alat peluncurnya apa, pelontar roket, dan jenis roket sendiri. Kalau hanya sederhana, ya tidak bisa,” kata Wawan, yang juga staf ahli bidang pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Ia menilai Singapura menjadi target ISIS karena dikenal dekat dengan Barat.
“Singapura bagi mereka simbol barat. Marina Bay juga dikenal sebagai lokasi pariwisata mendunia sehingga jika berhasil melakukan teror akan mendapatkan ketenaran. Ini yang mereka inginkan,” ujarnya.
Terkait dengan MIT
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen. Pol. Boy Rafli Amar mengatakan bahwa KGR juga membantu Mujahidin Indonesia Timur (MIT) terutama saat mengirim warga suku Uighur ke Poso melalui Nur Rohman, pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Solo.
“Ini adalah kelanjutan dari grup yang tertangkap di Bekasi, Desember 2015. Nur Rohman pernah bekerjasama dengan mereka dalam membawa orang Uighur ke Poso,” ujar Boy.
Terkait rencana menyerang Marina Bay, kata Boy, terungkap dalam percakapan melalui Facebook.
“Mereka melakukan pelatihan online dengan Bahrun Naim. Dengan online training ini, tidak perlu bertemu Bahrun Naim tapi dengan jarak jauh saja. Apa yang mereka lakukan di daerah, dia bisa meminta jaringan sel-sel terorisme untuk melakukan itu,” ujar Boy.
Menyerahkan diri
Dari Palu dilaporkan bahwa dua anggota MIT yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) menyerahkan diri ke Satuan Tugas (Satgas) Operasi Tinombala 2016 di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP Hari Suprapto, mengatakan kedua DPO adalah Jumri alias Tamar asal Poso. Dia menyerah, Jumat pekan lalu. Seorang lagi adalah Salman alias Opik dari Bima, Nusa Tenggara Barat, yang menyerah hari Minggu.
“Mereka menyerahkan (diri), karena sudah tidak sepaham dengan MIT yang dianggap lari dari pengetahuan mereka. Untuk proses hukum tetap akan mereka jalani," jelas Hari kepada BeritaBenar.
Jumri bergabung bersama MIT pertengahan 2014, sedangkan Salman ialah pengikut MIT angkatan pertama pada 2012 silam. Untuk mengetahui peran keduanya, Hari menambahkan, polisi belum bisa menyimpulkan karena masih dalam pemeriksaan.
Setelah mereka menyerahkan diri, anggota MIT yang tersisa tinggal 16 orang. Mereka terus diburu dalam Operasi Tinombala 2016 di Poso. Setelah Santoso tewas dalam baku tembak dengan TNI pada 18 Juli lalu, pimpinan MIT diyakini dipegang Basri alias Bagong dan Ali Kalora.
"Kekuatan mereka sudah sangat lemah, apalagi tidak ada sudah dukungan logistik dari simpatisannya di luar Poso," tegas Kapolda Sulteng, Brigjen. Pol. Rudy Sufahriadi.
Ia mengatakan operasi untuk memburu sisa-sisa anggota MIT telah diperpanjang hingga dua bulan ke depan.
Sejak Operasi Tinombala dimulai 10 Januari lalu, sudah 16 anggota MIT, termasuk lima etnis Uighur, tewas, dan delapan lagi ditangkap. Selain itu, lima orang menyerahkan diri. Dalam Operasi Camar 2015, tujuh anggota MIT tewas dan 31 lainnya ditangkap.