Polisi tangkap 43 warga Rempang yang demo tolak investasi China
2023.09.12
Jakarta

Polisi pada Selasa mengatakan telah menangkap 43 orang demonstran yang menolak relokasi perkampungan adat di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, untuk dijadikan kawasan eco-city yang didanai investor China.
Kabid Humas Polda Kepulauan Riau Kombes Pandra Arsyad Zahwani mengatakan 43 orang tersebut diduga melawan petugas dan berbuat anarkis saat unjuk rasa di depan Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Senin.
“Polisi menangkap 43 orang dalam kejadian tersebut yang diduga melakukan perusakan dan perlawanan terhadap petugas Polri," ujar Kabid Humas Polda Kepulauan Riau Kombes Pandra Arsyad Zahwani dalam keterangannya, Selasa (12/9).
Unjuk rasa ini awalnya berjalan tertib dimana warga berorasi menyuarakan aspirasinya, namun situasi memanas dan berubah menjadi ajang saling lempar hingga jatuh korban luka-luka dan kerusakan bangunan.
Dalam demonstrasi tersebut, sekitar 1.000 orang berunjuk rasa menuntut pembatalan relokasi warga yang lahannya akan digunakan dalam proyek Eco-City Rempang, yang akan menjadikan kawasan itu sebagai pusat industri, perdagangan hingga pariwisata. Proyek ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional 2023, yang berarti menjadi salah satu proyek yang diprioritaskan.
Pengumuman proyek tersebut sebagai Proyek Strategi Nasional pada 28 Agustus 2023 menuai unjuk rasa warga di depan kantor BP menyuarakan aspirasi penolakan.
Warga merasa hanya menempati sebagian kecil dari pulau seluas hampir 17.000 hektare dan tidak perlu direlokasi.
Puncaknya pada Kamis pekan lalu, terjadi keributan saat warga memprotes pengukuran tanah yang dilakukan oleh petugas dari BP Batam dengan penjagaan aparat dalam jumlah besar.
Saat itu aparat sempat menembakkan gas air mata yang mengakibatkan beberapa siswa dibawa ke rumah sakit.
Menurut Pandra, polisi akan memproses warga yang ditangkap sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Sejauh ini polisi mengetahui bahwa tuntutan mereka adalah pembatalan relokasi dari Pulau Rempang dan membebaskan warga yang ditahan.
“Masyarakat, kami minta tenang. Aspirasi dan tuntutan akan disampaikan langsung pada pihak terkait untuk mendapatkan solusi,” ujar Pandra.
Presiden Jokowi mengatakan kericuhan di Batam terjadi karena komunikasi yang buruk.
"Karena di situ sebetulnya sudah ada kesepakatan bahwa warga akan diberi lahan 500 meter plus bangunannya tipe 45, tetapi ini kurang dikomunikasikan dengan baik sehingga terjadi masalah," ujar Jokowi, Selasa.
“Mempertahankan hak dari nenek moyang”
Juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang, salah satu kelompok demonstran, Suardi, mengatakan masyarakat ingin tetap tinggal di kawasan tersebut.
Kampung itu dihuni oleh warga asli dari Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat sejak 1834.
“Ini menjadi warisan yang tidak boleh kami hilangkan,” ujar Suardi dalam konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, pada Selasa.
“Mengapa kami harus melawan? Karena kami harus mempertahankan hak karena kami bagian dari keturunan nenek moyang kami!” tambahnya.
Saat bentrok pada Kamis lalu, Suardi merasa aparat keamanan tidak memberikan kesempatan untuk bernegosiasi dengan aspirasi warga. Ribuan personel dikerahkan hanya untuk mengawal proses pengukuran dan pematokan lahan.
“Saya hadir di situ, tidak ada mediasi, kita minta mediasi 5 menit saja. Tapi mereka tidak ada negosiasi. Mereka terus berjalan, masyarakat bertahan, terjadilah bentrok,” jelasnya.
Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait yang menyayangkan aksi demonstrasi yang ricuh dan jatuhnya korban, mengatakan sudah memberikan kesempatan dialog antara aliansi yang mewakili masyarakat Rempang dan pemerintah.
Ia mengatakan proyek ini berimbas pada sekitar 2.600 kepala keluarga dan menekankan bahwa tidak semua warga di Pulau Rempang menolak relokasi. Menurutnya banyak warga yang mendaftar untuk mendapatkan hunian tetap yang disediakan pemerintah.
“Masyarakat sudah mulai mendaftarkan ke posko dan kontak yang tersedia,” ujar dia.
Investasi Rp381 triliun
Ariastuty Sirait mengatakan proyek kerjasama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) milik konglomerat Tomy Winata itu direncanakan bisa menarik investasi Rp381 triliun hingga 2080,
“PT MEG akan mengembangkan tujuh sektor, di antaranya industri, komersial dan wisata,” ujar Ariastuty kepada BenarNews.
Menurut dia, PT MEG menggandeng perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited, calon investor yang bakal membangun pusat pengolahan pasir kuarsa dan pasir silika di Rempang.
“Xinyi adalah salah satu perusahaan yang akan mengembangkan industrinya di Rempang,” ujar Ariastuty.
Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan hal senada. Bahlil mengungkapkan bahwa Presiden Joko “Jokowi” Widodo turut menyaksikan penandatanganan kerjasama dengan perusahan tersebut untuk membangun ekosistem hilirisasi industri kaca dan panel surya pada Juli lalu di Chengdu, China.
“Kita menandatangani MoU dan perjanjian kerjasama dalam rangka membangun ekosistem di Rempang, kawasan Batam. Sekitar 11,6 miliar dolar. Ini untuk membangun pabrik kaca dan solar panel,” ujar Bahlil dikutip dari channel Youtube Sekretariat Presiden yang disiarkan pada 28 Juli 2023.
“Indonesia akan dibangun investasi kaca Xinyi yang menjadi terbesar kedua setelah China,” lanjut Bahlil.
Ancam Ekosistem Laut
Terkait rencana investasi pabrik kaca tersebut, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Boy Jerry Even Sembiring, mengatakan pembangunan pabrik semacam akan membuat banyak pulau-pulau kecil terancam.
“Ini tidak hanya mengancam Rempang dan Galang, ini juga terancam dengan eksploitasi pasir kalau proyek ini terus berjalan. Berapa banyak nelayan yang bakal terusir dari mata pencahariannya akibat proyek ini?” ujar Boy dalam konferensi pers di kantor YLBHI, Jakarta.
Boy pun mempertanyakan kembali janji Jokowi pada Mei 2019 yang akan mencabut konsesi lahan yang bersengketa dengan rakyat.
Dia juga mempertanyakan klaim BP Batam yang mengatakan sebagian warga telah sepakat untuk direlokasi demi pembangunan Rempang Eco-City.
“Siapa nama-nama mereka? Ini tidak pernah dipublish,” kata Boy.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Zainal Arifin mengatakan hak pengelolaan lahan tidak bisa jadi dasar aparat melakukan pengusiran paksa kepada warga. Apalagi masyarakat sudah ada di situ selama ratusan tahun.
“Mengatur kawasan bukan berarti memiliki. Jika itu tanah industri, pemerintah tidak bisa mengambil alih,” jelas Zainal.
Zainal menambahkan tidak boleh pembangunan yang melibatkan swasta atas nama Proyek Strategis Nasional kemudian melakukan didiskriminasi atas wilayah dan ruang hidup warga setempat.
“Tentu saja proses ini banyak melahirkan pelanggaran HAM. Bukan hanya penggusuran paksa, tapi juga perampasan tanah, hak atas pendidikan, dan hak atas anak di mana aparat menembakkan gas air mata ke sekolah,” tegasnya.