Swa Sensor Dinilai Berpotensi Memunculkan Konservatisme
2016.03.02
Jakarta

Larangan stasiun televisi menampilkan pria sebagai pembawa dan pengisi acara atau peran lain dengan gaya kewanitaan serta swa sensor yang dilakukan beberapa stasiun mendapat kritikan karena dianggap dapat memunculkan konservatisme dan membahayakan demokrasi.
"Pelarangan pria berperilaku perempuan, psikologisnya melihat tubuh atau perilaku perempuan sebagai sarang dosa, bahwa tubuh perempuan bukan model bagi tubuh publik," ujar dosen filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, dalam diskusi 'Menyoal Sensor' di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rabu 2 Maret 2016.
Diskusi yang dipraksai Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) digelar menyusul dikeluarkan surat edaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tertanggal 23 Februari 2016.
Dalam surat itu, KPI melarang stasiun televisi menampilkan pria dengan gaya berpakaian, riasan, bahasa tubuh dan gaya bicara kewanitaan, menampilkan pembenaran seorang pria berperilaku kewanitaan, sapaan terhadap pria dengan sebutan yang seharusnya diperuntukkan bagi wanita dan istilah khas yang sering dipergunakan kalangan pria kewanitaan.
Menurut KPI, muatan siaran seperti itu dapat mendorong anak untuk membenarkan perilaku tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Larangan itu keluar setelah maraknya isu LGBT di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir.
Namun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan larangan itu merupakan pelanggaran atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam konstitusi.
Pasalnya, ekspresi tersebut sudah menjadi bagian budaya Indonesia, seperti aktor dalam pentas wayang orang dimana pria harus memerankan karakter perempuan atau sebaliknya. Komnas Perempuan juga menganggap hal ini dapat menciptakan situasi yang diskriminatif.
"Kemerdekaan berekspresi adalah mutlak, dengan batasan pornografi, kekerasan anak, rasisme dan terorisme atau kekerasan. Selama tidak ada arah kesana seharusnya ada ruang berekspresi," ujar komisioner Komnas Perempuan, Yunianti Chuzaifah dalam diskusi tersebut.
Tidak diskriminatif
Komisioner KPI bidang kelembagaan, Bekti Nugroho mengatakan bahwa surat edaran itu tidak diskriminatif dan tak melarang pria yang berperan sebagai wanita dalam konteks budaya atau kesenian.
"Selama itu memang seni budaya yang ada di Indonesia boleh saja," ujar Bekti saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Menurut dia, bila hal itu diinterpretasikan sampai pada pelarangan ekspresi budaya, mungkin terjadi karena stasiun televisi salah menginterpretasikan surat edaran KPI.
Bekti menambahkan bahwa tayangan yang menampilkan pria kewanitaan cenderung menjadikan wanita dan waria sebagai objek yang diolok-olok.
"Justru kami ingin melindungi yang minoritas (waria) itu supaya tidak jadi bahan olokan dan ledekan. Kami tidak mau hal itu dieksploitasi atas nama rating televisi. Kami juga ingin melindungi perkembangan jiwa remaja anak-anak agar tidak salah orientasi bahwa pria yang berperilaku seperti wanita dapat dijadikan contoh," ujar Bekti.
KPI, ujar Bekti, menjalankan amanat Undang Undang Penyiaran Tahun 2002 bahwa televisi di Indonesia menampilkan hiburan yang sehat dan untuk membentuk karakter bangsa yang beriman dan bertakwa.
"Laki-laki tampil kemayu, itu tidak benar, tidak boleh jadi dianggap wajar," ujar Bekti.
Konservatisme
Saidiman Ahmad, peneliti dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengatakan dalam tayangan televisi juga muncul konservatisme dalam bentuk swa sensor yang berlebihan, dimana ada stasiun televisi menyamarkan bagian tubuh yang dianggap erotis.
Bahkan, dalam karakter di film kartun atau bagian dada pria yang terbuka ketika pria itu sedang menjadi pengantin dan memakai kostum pengantin adat Jawa dengan dada yang terbuka ikut disensor.
"Swa sensor juga dilakukan oleh pelaku dan pekerja media supaya tidak ada masalah dengan pemilik medianya," ujar Saidiman.
Namun Bekti mengatakan bahwa KPI tidak pernah melakukan sensor karena bukan bagian dari kompetensinya, yang mengacu pada Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran (P3 dan SPS).
Yunianti dari Komnas Perempuan mengatakan meningkatnya konservatisme yang salah satunya terlihat dengan swa sensor yang berlebihan di tayangan televisi adalah hal mengkhawatirkan.
"Ini adalah bentuk minoritas opresif, mereka (yang berpandangan konservatif) tidak banyak tapi diberi panggung," ujar Yuniati.
Bentuk lain meningkatnya konservatisme terlihat dari banyaknya peraturan daerah yang semakin membatasi ruang gerak perempuan.
Dalam catatan Komnas Perempuan, sudah ada 389 peraturan daerah di seluruh Indonesia yang mengatur perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, bahkan cara berpakaian, seperti peraturan yang mewajibkan perempuan memakai kerudung.
"Ada pencabutan hak privat oleh negara," ujar Yunianti, sambil menambahkan keadaan seperti ini menjadi kebalikan dari masa lalu dimana perempuan dilarang berkerudung.