Dua terdakwa tragedi Kanjuruhan dipidana masing-masing 18 bulan, 1 tahun penjara
2023.03.09
Surabaya

Pengadilan Negeri Surabaya pada Kamis (9/3) memvonis dua anggota panitia pertandingan sepak bola dalam Tragedi Kanjuruhan tahun lalu atas dakwaan kelalaian yang berakibat pada terjadinya salah satu musibah terburuk dalam dunia olahraga dengan 135 korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka.
Abdul Haris, ketua panitia penyelenggara pertandingan sepakbola pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur itu mendapat hukuman 18 penjara sementara Suko Sutrisno, ketua petugas keamanan divonis satu tahun penjara. Putusan keduanya jauh lebih ringan daripada tuntutan 6 tahun 8 bulan penjara oleh jaksa penuntut umum sehingga keluarga korban menyebut persidangan itu sebagai dagelan.
“Mengadili menyatakan terdakwa Abdul Haris terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati dan luka berat. Menjatuhkan pidana selama satu tahun dan enam bulan,” ucap hakim ketua Abu Achmad Sidqi Amsya saat membacakan putusan, Kamis.
Majelis hakim mengatakan Haris dan Suko gagal memastikan keamanan yang memadai dan tindakan pengendalian massa di stadion. Namun mereka juga mengatakan mempertimbangkan hal-hal yang meringankan seperti Haris yang pada awalnya mengusulkan untuk memindahkan jam pertandingan untuk alasan keamanan – namun ditolak oleh penyelenggara PT Liga Indonesia Baru, dan inisiatif Suko untuk mengevakuasi korban.
Hakim juga menyatakan hukuman masing-masing terpidana dipotong masa tahanan di Rumah Tahanan Medaeng, Sidoarjo.
Sementara itu, tiga petugas polisi yang memerintahkan penembakan gas air mata ke arah penonton - yang disebut sebagai penyebab utama jatuhnya banyak korban, karena menyebabkan kepanikan, sesak naga dan warga terinjak-injak ketika berebut keluar stadion, masih menunggu vonis mereka. FIFA melarang keras penggunaan gas air mata dalam pertandingan.
Tragedi pada 1 Oktober2022 malam itu dimulai setelah polisi menembakkan gas air mata di dalam stadion untuk membubarkan penonton yang menyerbu lapangan setelah kelompok tuan rumah Arema FC Malang kalah dari musuh bebuyutan mereka Tim Persebaya Surabaya.
Polisi mengatakan stadion itu berkapasitas 40.000, tetapi lebih dari 60.000 tiket terjual.
Tim pencari fakta yang dibentuk oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo menemukan bahwa gas air mata yang ditembakkan secara membabi buta oleh polisi menyebabkan tewasnya 135 orang dan sekitar 600-an korban luka-luka.
Pihak berwenang mengatakan faktor lain termasuk pintu stadion yang sempit ikut berkontribusi terhadap bencana tersebut.
Terdakwa mengaku tak salah
Suko mengaku tidak bersalah dan berharap bisa dibebaskan dari hukuman. “Jangan hanya kita orang kecil. Sementara bagaimana yang lain. Kami menuntut keadilan,” ujarnya usai majelis hakim membacakan vonis.
Kuasa hukum kedua terdakwa, Eko Hendra Prasetyo, menyatakan pikir-pikir atas putusan majelis hakim tersebut.
Eko menilai dalam fakta persidangan kedua terdakwa tidak berperan dalam menyebabkan banyaknya korban tewas dan luka-luka dalam kejadian yang memicu kemarahan publik dan tuntutan pertanggungjawaban terhadap otoritas sepak bola dan aparat keamanan.
“Kami berharap keduanya bebas. Mana ada fakta yang (memperlihatkan mereka) menyebabkan suporter meninggal, bahkan Beliau membantu evakuasi korban,” ujarnya.
Eko menyebutkan bahwa Abdul Haris dan Suko Sutrisno telah mempersiapkan pertandingan sejak awal. Suko juga telah berpengalaman sejak 2008 menjadi petugas keamanan dan keselamatan.
Keluarga korban kecewa
Salah seorang keluarga korban, Devi Athok Yulistri (43) mengaku kecewa. Dia tidak mempercayai keseriusan persidangan di PN Surabaya itu lantaran jaksa menuntut pidana yag lebih berat.
“Saya sudah tebak sidang di PN Surabaya, dagelan. Pasti akan ringan. Sangat murahnya nyawa warga Malang,” katanya.
Devi kehilangan mantan istrinya - Debi Asta (35) dan kedua putri mereka, Natasya Ramadani (16) dan Naila Angraini (13).
Devi semakin apatis, dengan persidangan pekan depan yang akan menjatuhkan putusan bagi terdakwa tiga aparat kepolisian, yakni bekas Kepala Bagian Operasional Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kepala Satuan Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, dan Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur, AKB Hasdarman.
“Bisa saja ketiga polisi diputus bebas dan tidak dipecat,” katanya.
Hal senada disampaikan Koordinator Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK), Imam Hidayat.
“Sudah apatis. Jaksa wajib banding. Kalau jaksa tidak banding makin memperkuat keyakinan jika keluarga tragedi Kanjuruhan sulit mendapat kedilan,” katanya.
Dia menduga ada semacam pengkondisian dalam perkara ini yang melukai keluarga korban. Sejak awal, dalam laporan “model A” tidak serius, ujarya merujuk pada laporan yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami langsung peristiwa yang terjadi, kata Imam
Sedangkan laporan TATAK “model B”, yakni laporan yang dibuat anggota Polri atas laporan/pengaduan masyarakat, tambah dia.
Sedangkan laporannya, kata Imam, tidak segera naik ke tingkat pengadilan. Alasan penyidik dibutuhkan bukti yang saat ini digunakan di PN Surabaya. “Harus pinjam alat bukti di PN Surabaya,” katanya.
Untuk itu, Imam meminta Presiden Joko Widodo turun tangan. Tak cukup hanya membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang rekomendasinya tidak dijalankan aparat penegak hukum.
Dia juga mempertanyakan Direktur Utama LIB Akhmad Hadian Lukita yang perkaranya belum dilimpahkan ke pengadilan. “Penyidik Polda Jatim belum melengkapi dokumen. Ada apa?” katanya.