Tiga buruh China laporkan kondisi kerja buruk di kawasan industri Morowali
2023.03.03
Jakarta

Tiga pekerja migran China telah mengajukan laporan pelanggaran hak asasi di kawasan pengolahan nikel milik China di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah, memicu sorotan baru pada tuduhan kondisi kerja yang eksploitatif di pabrik-pabrik milik negara adidaya tersebut.
Para pekerja Indonesia juga mengeluhkan kondisi keselamatan di kawasan industri tersebut, yang berpuncak pada kerusuhan mematikan di sebuah pabrik nikel di Morowali Utara pada bulan Januari.
Sementara itu, IMIP mengklaim pekerja China yang mengadu tidak bekerja di perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut.
Airlangga Julio, pengacara AMAR Law Firm & Public Interest Law Office yang merupakan kuasa hukum ketiga pekerja, mengatakan ketiga pekerja China itu mengaku kondisi kerja di IMIP buruk sehingga mereka mengalami masalah kesehatan seperti gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan detak jantung yang tidak normal.
“Hal ini terjadi karena setiap hari buruh migran harus menghadapi debu dan asap yang pekat di dalam pabrik tanpa (peralatan) safety yang memadai,” ujar Airlangga kepada BenarNews.
Selain itu, terang Airlangga, para buruh migran tersebut harus bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa istirahat dan tanpa hari libur. Bahkan mereka bekerja tanpa mendapatkan uang lembur.
“Sabtu-Minggu tetap bekerja. Gak ada upah lembur. Ini merupakan pemaksaan kerja karena kalau diminta lembur wajib ikut. Itu diantara pelanggaran beratnya, tapi yang lain-lainnya masih banyak lagi,” kata Airlangga.
Airlangga menambahkan bahwa ketiga warga China itu mengaku kecelakaan kerja juga kerap terjadi yang mengakibatkan luka berat maupun kematian para pekerja di IMIP.
Kecelakaan kerja itu, kata Airlangga, antara lain terjepit mesin produksi yang mengakibatkan tangan atau kaki pekerja putus dan terkena lava panas nikel akibat miskomunikasi antara pekerja lokal dengan tenaga kerja asing.
“Ini sering terjadi karena masalah bahasa, walaupun ada penerjemah bahasa Mandarin, karena penerjemah dari Indonesia sering tidak mengerti bahasa Mandarin sepenuhnya di sana karena beda-beda dialek,” ujar Airlangga.
Airlangga mengaku saat para buruh itu menandatangani perjanjian kerja di China, mereka tidak punya waktu untuk mempelajari kontrak.
“Kontraknya hanya diberikan sekali waktu di China, mereka tandatangan lalu ditarik lagi oleh perusahaan,” kata Airlangga.
Airlangga mengatakan banyak dari buruh migran China tersebut tidak tahan lagi bekerja di IMIP dan meminta pulang akibat kondisi kerja yang buruk.
“Masalahnya lagi, ketika meminta pulang paspornya ditahan, ketika meminta pulang juga didenda,” ucap dia.
Airlangga mengatakan kantornya telah mengadukan persoalan ini kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan meminta lembaga itu menyelidiki dugaan pelanggaran.
Kami juga masih merahasiakan identitas client kami. Kami bekerja sama dengan Komnas HAM agar turut merahasiakannya demi keamanan,” tambah dia.
Komnas HAM dalami laporan
Sementara itu, anggota Komnas HAM Uli Parulian mengakui bahwa ketiga buruh migran China itu telah melapor kepada lembaganya.
“Kami masih mendalami laporan dari TKA [tenaga kerja asing] ini. Kami baru mendapatkan info pengaduan seperti yang dijelaskan oleh kuasa hukumnya,” kata Uli.
IMIP mengelola kawasan industri berbasis nikel yang terintegrasi dengan produk utama berupa nikel, baja nirkarat dan baja karbon.
Kawasan industri ini merupakan dimiliki mayoritas oleh Tsingshan Steel Group dari China, yang kerap disebut perusahaan terbesar di dunia di bidang pengolahan nikel.
Pada 2020, seorang pekerja asal China yang bekerja di kawasan IMIP ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di Kabupaten Morowali, diduga karena depresi dan serangan jantung, lansir Detik.com.
“Bukan pekerja di IMIP”
Juru bicara PT. IMIP, Dedy Kurniawan, mengatakan tiga warga China itu bekerja di salah satu perusahaan penghasil prekursor katoda untuk baterai kendaraan listrik di Konawe yang baru beroperasi 2 tahun.
“Pelapor tersebut bekerja di bagian pengolahan slurry di Konawe, bukan di Kawasan IMIP Morowali. Bagaimana yang bersangkutan dapat menilai dan menyimpulkan kondisi lingkungan kerja di Kawasan IMIP (seluas) 4000 hektar dengan puluhan pabrik?” tanya Dedy dalam keterangannya kepada BenarNews.
Dedy mengatakan tanggung jawab terhadap kejadian yang menimpa ketiga buruh migran tersebut merupakan wewenang perusahaan masing-masing tempat mereka bekerja.
Hingga 11 Februari 2023, Dedy mengatakan total karyawan IMIP mencapai 81.448 orang yang terdiri dari 70.758 tenaga kerja Indonesia dan sebanyak 10.690 merupakan tenaga kerja asing, mayoritas berasal dari China.
“Patut disadari bahwa komposisi tersebut memerlukan upaya lebih dalam hal menjembatani beda budaya yang terjadi,” jelas Dedy.
Airlangga mempertanyakan dasar PT IMIP memastikan kliennya tidak bekerja di kawasan IMIP, karena identitas para pekerja tersebut selama ini dirahasiakan.
“Kami menduga IMIP memperoleh identitas dengan cara yang salah dan tidak sah,” ujar Airlangga.
Airlangga menambahkan bahwa kliennya bekerja di wilayah IMIP sebagai mekanik mesin pabrik.
“Itu jelas di wilayah IMIP bukan Konawe karena dua lokasi itu juga berjauhan,” ucap dia.
BenarNews telah menghubungi Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, namun tidak memperoleh balasan.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan kebijakan pemerintah yang mewajibkan perusahaan untuk mengolah komoditas di dalam negeri agar ekspor lebih bernilai telah menarik pebisnis China.
Indonesia memberlakukan larangan pengiriman bijih nikel pada tahun 2020, mendorong Uni Eropa untuk meminta peninjauan kembali oleh Organisasi Perdagangan Dunia. Perusahaan-perusahaan China mendominasi industri smelter nikel di Indonesia, menurut informasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Menurut China Labor Watch, LSM yang berbasis di New York, pekerja China dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI), termasuk di Indonesia, kerap mengalami eksploitasi termasuk penipuan, pemaksaan, kekerasan, dan pembatasan kebebasan yang berujung pada kerja paksa dan perdagangan manusia.
BRI merupakan program pemerintah China senilai US$1 triliun lebih untuk membiayai pembangunan infrastruktur di seluruh dunia
Pada tahun 2021, terdapat 592.000 pekerja Tiongkok di luar negeri, namun jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi COVID-19 dan tidak termasuk pekerja China yang tidak memiliki visa kerja yang sah, kata China Labor Watch.
Jumlah pasti pekerja Tionghoa yang terlibat dalam proyek BRI sulit diperkirakan, karena beberapa proyek mungkin memiliki banyak subkontraktor dan sumber pendanaan yang berbeda, kata Labor Watch.
Peneliti Paramadina Public Policy Institute dalam laporan mereka tahun 2020 mengatakan investasi China di industri nikel Indonesia telah membawa beberapa keuntungan, seperti penciptaan lapangan kerja, alih teknologi dan pembangunan infrastruktur, namun juga membawa beberapa masalah, termasuk degradasi lingkungan, konflik sosial dan persaingan tidak sehat.
Laporan tersebut merekomendasikan agar pemerintah Indonesia memperbaiki kerangka peraturan untuk investasi asing, meningkatkan mekanisme transparansi dan akuntabilitas, mendorong partisipasi dan pemberdayaan lokal.