TNI, Polri Kerahkan 80.000 Personel, Bantu Vaksinasi dan Lacak Penderita COVID-19
2021.02.11
Jakarta

Polri dan TNI akan mengerahkan lebih dari 80.000 personel untuk menjadi pelacak kasus COVID-19 dan petugas vaksinasi dalam rangka membantu pemerintah mengatasi pandemi, kata perjabat terkait Kamis (11/2).
Setidaknya 53.836 personel Polri akan diturunkan, 13.500 diantaranya akan diambil dari personil tenaga kesehatan untuk dilatih menjadi petugas vaksinasi, kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Kami juga siapkan 40.336 personel Babinkamtibmas di seluruh daerah untuk dikerahkan sebagai tracer (pelacak) sebagai langkah deteksi dini dalam mengantisipasi penyebaran virus COVID-19,” kata Listyo.
Petugas akan bekerja membantu tenaga kesehatan seperti dalam pelacakan dan pemberian vaksinasi COVID-19 baik terhadap anggota Polri maupun kepada masyarakat, ujarnya.
Sebelumnya Panglima TNI Hadi Tjahjanto telah mengerahkan 29.736 personel TNI di tujuh provinsi di Jawa dan Bali untuk menjadi pelacak COVID-19.
Jumlah tersebut terdiri dari 27.866 personel bintara pembina desa (babinsa) TNI Angkatan Darat, 1.768 bintara pembina potensi maritim (babinpotmar) TNI AL dan 102 bintara pembina potensi kedirgantaraan (babinpotdirga).
Berdasarkan data per Kamis, Indonesia sendiri menempati peringkat teratas jumlah kematian terbesar di Asia Tenggara, dengan korban meninggal lebih dari 32.000 dan orang terinfeksi virus corona lebih dari satu juta.
Secara global, sebanyak 220 negara di dunia terpapar pandemi COVID-19 dengan total konfirmasi positif sebanyak 107.954.935 dan angka kematian mencapai lebih dari 2,3 juta orang.
Kasus harian cenderung menurun dalam beberapa hari terakhir, tapi Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan kemungkinan jumlah kasus akan melonjak tajam saat tes antigen digunakan untuk pencatatan resmi kasus.
Tes antigen bisa dilakukan secara cepat dan lebih banyak dibandingkan RT-PCR.
"Kami ingin menyampaikan lebih awal agar masyarakat memahami mengapa penambahan kasus terjadi saat kita melakukan akselerasi testing, dengan memperbanyak tes epidemiologi kita akan semakin banyak menangkap kasus positif yang tidak ada gejala sama sekali,” kata Nadia dalam konferensi pers Rabu.
“Masyarakat diharapkan menyikapi dengan baik artinya meningkatkan kewaspadaan dan disiplin protokol kesehatan," ujarnya.
‘Perang Dunia’
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, pandemi COVID-19 yang melanda memiliki kesamaan dengan Perang Dunia I dan II yang juga membunuh jutaan manusia. Oleh sebabnya, dibutuhkan strategi perang yang melibatkan personel TNI dan Polri untuk memenangkan perang terhadap virus tersebut.
“Perang dunia I dan II telah membunuh jutaan manusia, saat ini bisa dikatakan seperti perang dunia III dengan SARS -Cov-2. Kita membutuhkan sistem persenjataan yang pertahanan yang berbeda,” ujar dia
Setidaknya dibutuhkan 80.000 pelacak COVID-19 untuk memeriksa kontak erat penderita COVID-19 dengan perhitungan 30 pelacak COVID-19 untuk setiap 100.000 penduduk di Indonesia, kata Budi.
Menurut dia, yang memiliki personel sebanyak itu untuk memenuhi kebutuhan di seluruh Indonesia adalah TNI dan Polri.
Salah satu proses pelacakan adalah dengan melakukan teknik interogasi untuk mencari tahu keadaan musuh.
“Jadi intelnya bukan mencari musuh manusia, tetapi cari musuh virus. Kemudian untuk memukul lawan yaitu dengan menggunakan vaksinasi, bukan pistol,” tambahnya.
‘Militerisasi kesehatan’
Rodri Tanoto, ahli kesehatan global lulusan University College London, mengatakan perlu diperjelas mekanisme pelacakan yang dilakukan oleh petugas keamanan.
“Kalau misalnya tidak melibatkan posisi mereka sebagai angkatan bersenjata untuk menekan pasien dan suspek, apalagi memaksa kontak kontak untuk testing, saya pikir tidak masalah, selama perannya murni teknis, karena kurangnya tenaga,” kata Rodri kepada BenarNews.
Rodri menilai ada keinginan menggunakan cara-cara militerisasi kesehatan untuk mengajak masyarakat patuh memakai masker dan menjaga jarak dan ada kekhawatiran pendekatan seperti itu dilakukan dalam pelacakan.
“Khawatirnya, kontak itu tidak diberikan pendekatan dan penjelasan yang cukup untuk sukarela diperiksa,” ujarnya.
Rodri mengatakan sulit untuk mengandalkan masyarakat untuk sukarela diperiksa karena ada stigma terkait COVID-19.
“Pada akhirnya, perlu analisis lebih lanjut, di mana yg bisa pakai aplikasi pelacak atau alat, di mana yang bisa disediakan alat pemeriksaan mandiri seperti vending machine itu, mana yg perlu personil turun lapangan. Tidak bisa pukul rata. Dan itu kita tidak punya datanya,” ujarnya.
Sangat bagus
Pakar epidemiologi dari Griffith University di Australia, Dicky Budiman, mengatakan strategi pemerintah kali ini apabila dijalankan akan berdampak sangat bagus karena program 3T (testing, tracing, dan treatment – pengetesan, pelacakan dan perawatan) merupakan hal utama yang harus ditingkatkan.
“Bisa berdampak sangat bagus untuk menekan angka penularan,” ujarnya kepada BenarNews.
Namun demikian, penempatan anggota TNI dan Polri membutuhkan strategi komunikasi dan sosialisasi yang baik untuk menghasilkan adaptasi yang baik.
“Tidak bisa dengan menggunakan cara militer. TNI harus bisa membujuk masyarakat dengan cara persuasif, humanis dan harus ada orang lokal juga sebagai penengah,” ujar dia.
Pendapat berbeda disampaikan pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono. Menurutnya, melibatkan TNI dan Polri dikhawatirkan menyebabkan masyarakat menjadi takut.
“Ditilang polisi aja takut, bingung orang, jadi menurut saya kurang pas dan tidak efektif karena justru kalau ditanya polisi masyarakat jadi gemeteran dan bisa jadi masyarakat tidak bisa cerita yang sesungguhnya di depan polisi, menjadi defensif,” paparnya.
Ia menyarankan pemerintah tidak memakai polisi tapi memakai tokoh masyarakat. “Pemerintah bisa latih anggota masyarakat, kader desa, ibu PKK atau siswa kesehatan dan perawat yang bisa mengedukasi masyarakat,” ujarnya.