Ketika Batu Padas Ditambang Ilegal di Bali
2017.01.13
Gianyar
Suara mesin gerinda meraung dari balik hamparan hijau rumput ilalang di pinggir sungai Petanu di Desa Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, awal Januari lalu. Suara memekakkan telinga itu memecah ketenangan desa tetangga Ubud tersebut.
Seperti desa lain, Kemenuh sebenarnya sedang menata diri menjadi desa wisata. Namun, kerasnya suara gergaji mesin justru merusak mimpi Kemenuh sebagai desa wisata.
Ida Ayu Agung Mas, pemilik vila Sua Bali kehilangan tamunya karena mereka terganggu suara gerinda. “Saya termasuk yang dirugikan dengan penambangan ilegal ini,” katanya.
Riuh mesin gerinda itu berasal dari para penambang batu padas di tebing Petanu, salah satu sungai yang tak hanya sarat keberagaman lingkungan tapi juga kekayaan warisan adat budaya Bali.
Sejak 1998, tebing lestari itu mulai ditambang secara ilegal. Pemilik tanah menyewakan lahan pada pengusaha penambangan. Salah satu pengusaha, I Nengah Taman mengakui mereka memang menambang batu padas di tebing sungai secara ilegal.
“Kami sudah mengajukan ke pemerintah tapi mereka tak memberi izin penambangan di lokasi tersebut,” ujarnya.
Tidak ada izin tak menghentikan penambangan batu-batu padas di tebing Petanu. Begitu pula daerah lain termasuk di Kecamatan Pupuan, Tabanan.
Di lokasi-lokasi penambangan, para buruh menggali tanah. Setelah kedalaman sekitar 1,5 meter, mereka menggerinda batu-batu padas. Hasilnya berupa batu padas kotak dengan beragam ukuran.
Selain penggali, ada pula buruh yang menghaluskan batu-batu padas itu, mengangkut dengan meniti jembatan, menyeberang sungai ke lokasi pengumpulan, lalu membawa ke tempat penjualan. Batu-batu padas itu dijual sekitar Rp 20.000 per bata.
Dari tempat-tempat penambangan ilegal, batu-batu padas itu kemudian menjadi bahan baku hotel, rumah, bahkan pura-pura di Bali.