‘Jihadpreneur’ Tangkal Radikalisme dari Pesantren

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sudah melatih 330 dari sekitar 500 mantan narapidana terorisme untuk berwirausaha.
Tia Asmara
2016.11.29
Jakarta
161129_ID_jihadpreneur_1000.jpg Para santri melakukan foto bersama dalam suatu kegiatan di Pesantren Daarut Tauhiid, Bandung, Jawa Barat, 5 November 2016.
Dok. Humas Daarut Tauhiid

Maraknya pengaruh paham radikal di Indonesia yang juga menyasar pemuda membuat berbagai pihak, termasuk kalangan kiai, memaksimalkan upaya penanggulangannya.

‘Jihadpreneur’ menjadi istilah baru dalam upaya melawan gerakan radikalisme dengan mengajarkan para santri untuk berwirausaha sambil belajar di pondok pesantren.

Istilah itu pertama kali diperkenalkan Muhammad Zakki, pemimpin pesantren Yayasan Mukmin Mandiri di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Kurikulum di pesantren yang didirikan pada 2006 itu banyak mengajarkan keahlian bertani, terutama dalam memproduksi kopi, kepada 200-an dari total sekitar 700 santri.

Menurut Zakki, radikalisme banyak tumbuh di kalangan pemuda yang secara ekonomi kurang beruntung.

“Dengan berwirausaha, radikalisme bisa tertekan seminimal mungkin. Jika pesantren mampu mencetak pengusaha, diharapkan radikalisme di Indonesia berkurang,” ujarnya kepada BeritaBenar, Selasa, 29 November 2016.

Untuk menghadapi perekonomian global, jelasnya, orientasi pesantren perlu digerakkan menjadi garda terdepan tak hanya dalam bidang agama, tetapi juga ekonomi bangsa.

“Harus muncul yang namanya pesantren preneur, sehingga santri tidak hanya mengerti agama, tapi juga ekonomi. Dengan jiwa entrepreneur bisa berjihad di bidang ekonomi untuk memajukan bangsa lewat jihadpreneur,” katanya.

Untuk menjadi santri di Mukmin Mandiri, seorang calon diharuskan hafal Alquran dan menjalani serangkaian wawancara. Mereka diajarkan 25 persen teori dan sisanya praktik lapangan.

“Semua gratis. Semoga tiap pesantren di Indonesia bisa menghasilkan satu produk dalam mengembangkan bisnis wirausaha,” harapnya.

Mengubah image

Pesantren milik ustaz ternama AA Gym, Daarut Tauhiid di Geger Kalong, Bandung, Jawa Barat, juga punya program wirausaha yang dinamakan Akhlak Plus Wirausaha (APW).

Pembimbing APW, Ahmad Syaikoni, mengatakan APW merupakan program unggulan karena materi tambahan kewirausahaan sangat berguna bagi santri, dimana mereka belajar mental wirausaha, manajemen wirausaha, leadership, dan ekonomi syariah.

“Selama ini image santri kerap tidak bisa mendapatkan pekerjaan layak, pengangguran. Ini yang ingin kita ubah, bagaimana caranya santri menjadi pencipta lapangan pekerjaan dengan ilmu agama yang baik,” katanya ketika dihubungi BeritaBenar.

Sejak dibuka 2001, program ini sudah menerima 2.250 santri dan mencetak ratusan wirausaha muda dari berbagai kalangan masyarakat.

“Agar santri tidak mengarah ke perbuatan negatif, punya energi positif, dan tidak mengandalkan orang lain,” katanya.

Berdasarkan data Kementerian Agama, terdapat 27.230 pesantren di seluruh Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah menyebutkan dari jumlah itu, 19 pesantren yang terindikasi mengajarkan doktrin radikalisme.

Kurang tepat

Meskipun menanggapi baik, pakar terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib menilai sedikit kemungkinan radikalisme berkembang di pesantren karena kebanyakan teroris justru berasal dari kalangan yang tidak pernah mengaji.

“Kalaupun ada hanya beberapa oknum saja yang terpapar radikalisme, sehingga kurang tepat kalau hanya disasar santri yang tidak akan melakukan teror,” ujarnya.

Seharusnya, tutur Ridlwan, pemerintah menyediakan program wirausaha bagi kalangan narapidana terorisme.

“Sehingga mereka bisa terus mencari uang, usaha kecil yang tidak butuh banyak modal tapi menghasilkan, seperti warung misalnya,” katanya.

Ada beberapa mantan narapidana terorisme yang kembali melakukan teror seperti Afif yang merupakan salah seorang dari empat pelaku aksi di Jalan Thamrin, Jakarta, Januari lalu, dan Juhanda, pelaku pelemparan bom Molotov ke gereja di Samarinda, Kalimantan Timur, 13 November 2016.

Deputi bidang Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris mengatakan, pihaknya sudah melatih 330 dari 500 mantan narapidana terorisme untuk melaksanakan program wirausaha.

“Kami upayakan mereka mendirikan Usaha Mikro Kecil dan Menengah melalui dana bergulir dengan membentuk koperasi atau badan hukum, kami coba berdayakan ilmu keterampilan,” jelasnya.

Kepala BNPT, Suhardi Alius, menyebutkan terdapat sekitar 1.100 narapidana terorisme dalam proses peradilan, dan 217 narapidana teroris dipenjara di 68 penjara yang ada di seluruh Indonesia.

Dari 500 mantan narapidana terorisme, tambahnya, 200 orang sudah terindentifikasi alamat tempat tinggal.

“Namun kami kesulitan untuk memberikan program deradikalisasi karena mereka sudah diluar penjara,” ujarnya.

Suhardi menambahkan akan melaksanakan program wirausaha di pesantren mulai Januari 2017 dengan melibatkan 17 kementerian terkait.

“Kami akan berikan pengarahan dan pemahaman ke mereka (pesantren) soal masalah bangsa, termasuk terorisme. Ini urusan kita semua dan melibatkan seluruh instansi,” katanya.

Irfan menambahkan, meski BNPT belum menjangkau pesantren, namun sudah banyak yang mengadakan program wirausaha.

“Hampir setiap pesantren punya program itu,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.