Menyambung Asa di Rumah Singgah Kebaya
2017.11.30
Yogyakarta

Sudah 10 tahun Sarinah tinggal di Rumah Singgah Kebaya, di jalan Gowongan Lor, Malioboro, Yogyakarta. Waria 57 tahun itu, bertugas mengurus keperluan orang-orang di dalamnya.
Jauh dari namanya, rumah itu bukanlah tempat memproduksi baju kebaya. Ini adalah rumah singgah yang dikhususkan bagi mereka yang menderita HIV/AIDS. Kebaya hanya akronim dari Keluarga Besar Waria Yogyakarta, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli akan nasib penderita penyakit tersebut.
“Tugas saya banyak, tapi saya senang tinggal di sini, saya senang punya tempat tinggal, saya tidak merasa sendiri,” tutur transgender yang akrab disapa Mak Onah itu, saat ditemui BeritaBenar pekan lalu.
Mak Onah sebelumnya adalah pekerja seks komersial di Bandung, Jawa Barat. Tahun 2006 silam, ia divonis mengidap HIV, setelah berhari-hari menderita diare dan demam tinggi. Sejak saat itu Mak Onah terpaksa bolak-balik rumah sakit. “Saya gelisah, tiga hari tiga malam saya tidak bisa tidur, saya merasa sendiri, saya takut sekali,” kenangnya.
Dari cerita-cerita para konselor HIV/AIDS yang ditemuinya selama di rumah sakit, Mak Onah mendengar tentang LSM Kebaya, yang mendampingi orang-orang seperti dirinya. Akhirnya ia memutuskan berangkat ke Yogyakarta. Ia merasa menemukan rumah barunya di tempat itu.
“Saya mendapatkan perawatan yang cukup baik selama di sini. Saya merasa tidak merasa sendiri,” katanya.
LSM Rumah Singgah Kebaya didirikan oleh Wakidjo, sejak tahun 2007. Ia menjadikan rumah kontrakannya sebagai tempat menampung para waria yang terpuruk, setelah divonis mengidap penyakit yang mematikan itu.
Waria 59 tahun yang akrab disapa Vinolia, atau Mami Vin itu membiayai pengobatan dan perawatan mereka dengan uangnya sendiri. Belakangan pendanaan Rumah Singgah Kebaya juga mendapat bantuan dari sejumlah lembaga donor.
“Saya ingin memberi motivasi karena sebenarnya HIV dan AIDS tidak langsung membunuh jika ikut terapi, tetapi justru itu yang sulit,” kata Mami Vin.
“Saya berhenti dari dunia malam, saya tidak mau mati konyol,” ujar Mami Vin yang sempat menjadi pekerja seks komersil selama 15 tahun sebelum akhirnya berhenti pada tahun 1993.
Meski Mami Vin sendiri bukan pengidap HIV, tetapi dia cukup memahami apa yang dialami oleh rekan-rekannya yang mengidap HIV. Mereka kebanyakan menolak dan tidak mau ikut terapi karena takut dengan pengaruh yang ditimbulkan dari terapi antiretroviral (ARV) untuk menekan terjadinya infeksi. Salah satunya adalah terjadinya halusinasi yang terkadang membuat penderita mengalami kecemasan yang berlebihan.
“Proses itu akan sulit dilalui jika waria dengan HIV tidak memiliki teman yang mendampinginya melalui proses itu, di sini kami ingin membantu mereka melewati setiap proses terapi dengan menemani mereka, mendukung mereka supaya hidupnya lebih panjang,” ujar Mami Vin.
Tidak hanya menampung waria
Sejak didirikan sudah ada 169 pengidap AIDS stadium berat yang pernah dirawat di rumah singgah itu.
Dalam perkembangannya, Kebaya tidak hanya menampung waria dengan AIDS tetapi juga laki-laki dan perempuan penderita AIDS seperti ibu dari Nira, bayi yang digendong Mami Vin saat diwawacara.
Nira menjadi penghuni tetap Kebaya sejak setahun lalu. Ibu sang bayi datang dalam kondisi hamil dan mengidap AIDS. Setelah Nira lahir dan berusia lima hari, sang Ibu pergi dan tidak pernah kembali.
Hal yang paling disyukuri oleh Mami Vin dan para penghuni rumah singgah kebaya, Nira negatif dari HIV maupun AIDS.
"Ini benar-benar seperti hadiah dari Tuhan, berkah buat kami semua di sini dipercaya merawat titipan-Nya ini," ucap Mami sambil sesekali mencium pipi gembul Nira.
Dukungan Sistem
Pengetahuan Mami Vin tentang HIV dan AIDS serta pengalamannya mendampingi penderita membuatnya sering diminta untuk hadir dan berbagi ilmu. Ia menjadi dosen tamu di Fakultas Kedokteran Univertas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Di UGM inilah pada tahun 2012 Mami Vin bertemu dengan Sandeep Tarman Nanwani yang saat itu menjadi salah satu mahasiswa di Fakultas Kedokteran UGM yang kemudian menjadi volunteer Rumah Singgah Kebaya.
Sandeep yang saat ini menjadi salah satu kandidat doktor di Harvard Medical School, Universitas Harvard, Amerika Serikat, masih tetap aktif sebagai relawan di Kebaya.
Sandeep mengatakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) terkadang tidak bisa menerima sistem pelayanan kesehatan maksimal karena banyak dari mereka tidak memiliki dokumen identifikasi diri.
“Mereka sering tidak punya KTP tidak punya Kartu Keluarga (KK) dan tidak punya jaminan kesehatan, dan mengurusnya sulit sekali,” ujar Sandeep.
Ketika seorang waria penderita AIDS stadium berat datang untuk meminta pertolongan rumah singgah Kebaya, Sandeep akan mengarahkan mereka ke Puskesmas, klinik dan rumah sakit yang memang menangani kasus HIV/AIDS.
Rata-rata waria yang dirawat di rumah singgah Kebaya sudah dikeluarkan dari keluarga mereka. Sehingga otomatis mereka tidak punya KK dan tidak punya identitas.
Sandeep menuturkan, total terdapat 350 waria di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari jumlah tersebut, hanya 150 diantaranya yang memiliki dokumen lengkap dan akses kesehatan. Dari catatan Yayasan Satunama Yogyakarta, LSM yang bergerak di bidang penguatan masyarakat sipil, waria yang diketahui mengidap HIV/AIDS kurang dari 20 persen dari jumlah total waria di Provinsi DIY.
“Yang dibutuhkan ODHA stadium berat utamanya waria atau transgender ketika datang ke sini adalah dukungan sistem, ketika sistem mendukung maka kemudahan layanan kesehatan dan motivasi akan mengikuti,” ujar Sandeep.