Kehadiran Presiden Sudan di KTT OKI Tuai Kontroversi
2016.03.07
Jakarta

Kehadiran Presiden Sudan, Omar Al-Bashir dalam Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerjasama Islam (KTT OKI) di Jakarta menuai kontroversi sejumlah pihak, terutama Amerika Serikat (AS), karena ia dituduh terlibat kasus kejahatan perang.
“Amerika Serikat prihatin atas perjalanan Presiden Sudan Omar Al-Bashir ke Indonesia untuk menghadiri KTT OKI,” kata Duta Besar AS untuk Indonesia, Robert O. Blake, Jr., dalam rilis yang diterima BeritaBenar, Senin, 7 Maret 2016.
Dalam pernyataan itu, disebutkan bahwa Al-Bashir dituntut oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) karena terlibat kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, dan surat perintah penangkapannya belum dicabut.
Blake menambahkan bahwa meskipun tidak termasuk dalam anggota Statuta Roma, yang merupakan perjanjian untuk membentuk ICC, tetapi AS sangat mendukung upaya ICC untuk menuntut pihak-pihak bertanggung jawab atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang di Darfur.
Al-Bashir dituding terlibat dalam kejahatan perang di Darfur, Sudan bagian barat, yang dimulai pada 2003. Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), 300 ribu orang tewas dalam konflik bersenjata tersebut.
ICC telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi pemimpin Sudan itu pada Maret 2009 dan Juli 2010. Pengadilan telah meminta semua anggota Dewan Keamanan PBB yang bukan anggota Statuta Roma, termasuk AS, untuk menangkap Al-Bashir.
Al-Bashir sangat jarang melakukan perjalanan jauh seperti kali ini. Biasanya dia hanya bepergian ke beberapa negara tetangga Sudan. Tahun lalu, ketika digelar Konferensi Asia Afrika di Bandung, Al-Bashir membatalkan rencana kunjungan hanya beberapa saat sebelum berangkat.
Tidak memiliki sikap
Menanggapi kontroversi kehadiran Al-Bashir di Jakarta, juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan pihaknya mengundang seluruh negara perwakilan OKI.
“Kalau ada acara seperti OKI begini semua memang harus diperlakukan sama,” ujarnya kepada wartawan.
Indonesia, ujarnya, tidak memiliki sikap dan pandangan apapun terkait tuduhan terhadap Omar.
“Indonesia bukan negara anggota ICC jadi tak ada stance (sikap mendukung atau tidak),” kata dia.
Arrmanatha menjelaskan Indonesia tidak punya kepentingan menangkap Omar karena beberapa alasan. Selain bukan anggota ICC, terdapat dua Undang-Undang Indonesia mengenai perjanjian ekstradisi.
“Harus ada perjanjian dengan negara yang akan diekstradisi, jadi secara mekanisme internasional memang tidak ada di Indonesia seperti itu,” ujarnya.
Bertemu Jokowi
Kendati menimbulkan kontroversi, Omar malah mengadakan pembicaraan bilateral dengan Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo di sela-sela pertemuan puncak KTT OKI. Pertemuan keduanya digelar secara tertutup.
Selain bersepakat mendukung kemerdekaan Palestina dan berperan lebih besar dalam proses perdamaian Palestina dan Israel, Indonesia dan Sudan juga sepakat meningkatkan hubungan ekonomi dengan pembentukan Joint Business Council.
“Sudan juga mendukung investor Indonesia di Sudan,” demikian bunyi siaran pers usai pertemuan keduanya.
Disebutkan juga produk unggulan Indonesia yang diekspor ke Sudan antara lain pakaian jadi, alas kaki, tas, perlengkapan olahraga, kertas, alat tulis, makanan, minuman, furnitur, komponen kendaraan, bahan bangunan, kosmetik, glycerin, dan peralatan rumah tangga.
Indonesia juga berpartisipasi untuk menjaga perdamaian di Sudan, dengan menempatkan 161 personil pasukan penjaga perdamaian yang tergabung dalam misi United Nations- African Union Mission in Darfur (UNAMID) per 31 Desember 2014.
Tidak bisa intervensi
Pakar Kajian Timur Tengah dan Islam dari Universitas Indonesia (UI), Reza Widyarsa, mengatakan OKI berkewajiban menghormati urusan dalam negeri setiap anggotanya sehingga kehadiran Al-Bashir harus tetap diakui.
“Suka tidak suka, dunia harus menerima dan menghormati keputusan Indonesia mengundang Omar Al-Bashir karena dia diundang dalam kapasitas Presiden Sudan untuk membicarakan Palestina,” ujar Reza.
“Dalam hal ini, Amerika tak bisa melakukan apa-apa dan tidak bisa melakukan intervensi,” tambahnya.
Dia berpendapat kasus Omar dikategorikan sebagai urusan dalam negeri karena tudingan kejahatan perang terjadi di Darfur.
“Lagi pula ini bukan pertama kalinya ia menghadiri KTT OKI saat statusnya dicari,” kata Reza.
Dia menambahkan bahwa seseorang yang memiliki paspor diplomatik tidak bisa diadili dan diproses di negara lain.
"Jika Indonesia ikut campur maka bisa merusak hubungan diplomatik kedua negara," tuturnya.
Protes yang dilayangkan AS, menurut Reza, merupakan sesuatu yang wajar karena negara Paman Sam itu sebagai negara yang menjunjung hak asasi manusia (HAM).
"Ini hanya bukti dan support Amerika terhadap ICC, kalau tidak protes malah aneh nanti dikira tidak konsisten,” demikian Reza.