Aktivis: Banyak Perempuan Jadi Korban Pembangunan dan Konflik Agraria

Pejabat sangkal klaim bahwa pemerintah melupakan kesetaraan gender dalam pembangunan.
Nisita Kirana Pratiwi
2018.01.08
Jakarta
180108_ID_Genderequality_1000.jpg Para aktivis perempuan melakukan Deklarasi Solidaritas Perempuan untuk penghapusan serta pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap perempuan di Jakarta, 8 Januari 2018.
Nisita Kirana Pratiwi/BeritaBenar

Pejabat menyangkal tuduhan bahwa pemerintah melupakan kesetaraan gender dalam agenda pembangunan.

Ipah Saripah (40) menitikkan air mata ketika mencurahkan deritanya. Warga Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara itu, ikut terkena dampak dari proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) Teluk Jakarta, proyek pembangunan tanggul laut yang menurut pemerintah bertujuan untuk mencegah tenggelamnya Jakarta pada masa depan.

Sebagai istri nelayan sekaligus pengupas kerang, Ipah diberi kesempatan bersaksi dalam dialog nasional bertajuk “Mendorong Kebijakan Perlindungan Perempuan dalam Rangka Penghapusan Pelanggaran HAM dan Kekerasan Terhadap Perempuan” yang digelar oleh lembaga swadaya masyarakat Solidaritas Perempuan (SP), di Jakarta, Senin, 8 Januari 2018.

Bagi Ipah, dan suaminya Khalil, juga semua nelayan tradisional di kawasan Muara Angke, proyek NCICD tak sekadar menimbul konflik horizontal. Lebih dari itu telah merampas ruang kehidupan perempuan nelayan.

Ipah telah menjadi bagian perlawanan Koalisi Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke, untuk menolak proyek menimbun laut. Dia menuturkan, proyek Reklamasi Teluk Jakarta itu telah menurunkan hasil tangkapan kerang hijau, komoditi yang menjadi sandaran mata pencarian keluarga.

Tak cuma itu, perlawanan mereka berujung pada penangkapan dua anaknya oleh polisi. Rois dan Winda.

“Winda saat sedang hamil namun harus bolak balik ikut persidangan,” katanya seraya mengaku dia was-was terancam digusur.

Selain Ipah, Salasari Dg. Ngati yang biasa disapa Ngati dari Talakar, Sulawesi Selatan, juga memberi testimoni. Dia bercerita perjuangan panjang mempertahankan lahan pertanian yang telah dikuasai PTPN XIV.

Pada 1980-1983, tanah masyarakat diambil dan dijadikan lahan perkebunan tebu. Kala itu, pemerintah menjanjikan setelah 25 tahun, tanah masyarakat seluas 4.500 hektare akan dikembalikan.

Namun selama 35 tahun lebih pihak PTPN XIV mengelola lahan warga tanpa persetujuan ataupun ganti kerugian yang layak, hingga HGU-nya pun dipertanyakan.

“Akhirnya berujung konflik masyarakat dengan Perkebunan Nusantara XIV sampai kini tidak selesai,” katanya.

“Tidak ada lapangan pekerjaan layak, timbul konflik sosial, kami merasakan intimidasi, kekerasan, pelanggaran HAM serta kriminalisasi.”

Ngati bersama masyarakat lainnya telah melakukan berbagai upaya. Namun nihil hasil.

“Seperti menduduki lahan kami, hingga mendatangi Kantor Pemerintahan dan DPRD Provinsi, juga sudah lapor ke Kementerian Agraria,” katanya.

Lain lagi cerita Nurhaida, bekas buruh migran yang berjuang untuk mendapatkan haknya setelah disiksa saat bekerja sebagai tenaga kerja wanita di Arab Saudi.

Sedangkan Ratna Sari dari SP yang menjadi pendamping korban aturan syariat Islam di Aceh, menceritakan dampak bagi perempuan setelah dihukum cambuk.

"Korban mengalami trauma, (dan) yang lebih memprihatinkan korban tidak diterima di lingkungan," ujarnya.

Berujung konflik

Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewi, menyebut berbagai kebijakan ekonomi yang mendorong investasi skala besar, sering berujung konflik.

Dia menyontohkan kasus-kasus perampasan lahan, sumber kehidupan dan penghidupan bagi perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan miskin kota, masyarakat adat maupun komunitas marginal lain yang melibatkan aparat negara.

Mengutip data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), ia menyatakan tahun 2016 saja, terdapat 450 konflik agraria dengan luas wilayah 1.265.027 hektar, melibatkan 86.745 kepala keluarga di seluruh provinsi. Akibatnya, 13 korban meninggal dunia, 66 dianiaya dan 177 orang dikriminalisasi.

“Hal ini juga berdampak pada penghancuran sistem pengelolaan pangan yang selama ini diperankan perempuan sebagai kearifan lokal yang menjadi bagian kedaulatan pangan perempuan,” tuturnya.

Selama tiga tahun pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo dan Jusuf Kalla, Solidaritas Perempuan mencatat hal terkait investasi pembangunan dimana terlanggar hak asasi perempuan.

Pertama, katanya, 80 persen perempuan tak memiliki akses kepemilikan tanah. Kedua, perubahan iklim dan proyek pembangunan di pesisir membuat perempuan nelayan bekerja 15-17 jam per hari. Ketiga, kriminalisasi dan intimidasi dialami perempuan yang berada di konflik agraria.

Menurut Dewi, perempuan punya relasi nyata dari setiap konflik agraria dan kebijakan investasi pembangunan.

“Pemerintah gencar mendorong infrastruktur, tapi lupa dengan konsep kesetaraan gender. Lupa melibatkan peran perempuan dalam agenda pembangunan,” katanya.

“Di reklamasi kita tanya pemerintah adakah kajian gender? Ternyata tidak. Itu artinya, perempuan tidak diakui, kondisi perempuan sebagai satu entitas tidak diakui.”

Paling berdampak

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik berpendapat, perempuan yang paling terdampak akibat konflik agraria dan investasi pembangunan.

Perempuan menjadi korban penggusuran dan pengambil alihan lahan dalam konflik tersebut.

Implikasi berikutnya adalah perempuan terdorong melakukan migrasi pekerjaan untuk terlepas dari jeratan pemiskinan struktural.

“Kenapa makin banyak perempuan kita ke luar negeri menjadi buruh migran, ya karena persoalan agraria tadi salah satunya,” katanya.

Tapi, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Subandi, menjelaskan, pembangunan maupun investasi bisnis tak bisa serta merta dikotomi perspektif perempuan dan laki-laki karena tujuan pembangunan juga ikut meningkatkan kualitas hidup perempuan.

“Misalnya pemerintah alokasikan anggaran untuk kesehatan, alokasi bagi ibu apalagi ibu hamil agar mendapat akses yang baik bagi pelayanan kesehatan. Jadi isu gender adalah isu keadilan. Bukan hanya perempuan tapi laki-laki dan perempuan untuk mengakses sumber daya, perannya juga sama,” tuturnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.