Pro Kontra Razia ‘Buku Kiri’

Zahara Tiba
2016.05.24
Jakarta
160524_ID_Leftist_1000.jpg Sejumlah buku beraliran kiri disusun di sebuah tempat di Jakarta, 19 Mei 2016.
Afriadi Hikmal/BeritaBenar

Indonesia merayakan Hari Buku Nasional setiap tanggal 17 Mei. Namun perayaan tahun ini ditandai dengan aksi razia buku yang dinilai beraliran kiri menyusul kekhawatiran sebagian kalangan akan kebangkitan komunisme.

Hal ini bermula saat polisi menertibkan buku kiri, meski akhirnya dibantah Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. “Kami sudah sampaikan kepada seluruh jajaran untuk tidak melakukan penyitaan buku di toko buku, kampus, maupun percetakan,” katanya kepada wartawan, 13 Mei 2016 lalu.

Badrodin membolehkan polisi mengambil satu buku dari judul yang dinilai mengandung ajaran komunisme, agar selanjutnya diserahkan ke kejaksaan guna penelitian lebih lanjut.

Razia buku sudah terjadi di beberapa wilayah. Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta menyita buku “Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula” dari kios di pusat perbelanjaan dekat Taman Pintar Yogyakarta. Penerbitnya, Resist Book, mengaku didatangi sejumlah orang yang menanyakan buku terbitan mereka.

Di Ternate, Maluku Utara, personel TNI menyita sejumlah buku milik empat aktivis yang dituding berbau komunis. Para aktivis itu pun sempat diamankan. Di Tegal, Jawa Tengah, Kodim 0712 mengamankan puluhan buku dari sebuah mal.

Meskipun mengaku tak ada keputusan untuk menarik buku-buku kiri, Kelompok Penerbit Gramedia menerima keluhan dari cabang-cabangnya di daerah karena khawatir terkena razia TNI/Polri.

“Di beberapa daerah, toko buku disweeping dan dicekal. Salah satunya di Cirebon. Bahkan di Jakarta, toko buku di Matraman terkena imbas sweeping,” ujar Manajer Kelompok Penerbit Gramedia, Pax Benadito seperti dikutip Tempo.co.

Perpustakaan Nasional malah menyatakan dukungan untuk memusnahkan buku-buku kiri. “Saya setuju. Dengan adanya buku-buku aliran kiri, ternyata meresahkan. Zaman Orde Baru, buku-buku itu dilarang untuk diedarkan. Untuk baca, harus ada izin kejaksaan,” kata Ketua Pelaksana Tugas Perpustakaan Nasional, Dedi Junaedi.

Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 16 Mei, Dedi mengatakan upaya tersebut juga demi kebaikan anak-anak. “Buku-buku semacam itu tidak sesuai dengan Pancasila. Kalau buku itu nanti meresahkan, nanti terprovokasi,” tambahnya.

Namun pernyataan Dedi diragukan pemerhati buku sekaligus mantan kepala Perpustakaan Nasional, Dady Rachmananta.

“Kami pantang membakar buku. Perpustakaan tidak berurusan dengan isi, tapi dengan fisik buku. Buku adalah karya seseorang. Baik buruknya tergantung kita yang baca. Apalagi kami telah menyimpan buku-buku tersebut sejak tahun 1984,” katanya kepada BeritaBenar.

Perpustakaan Nasional, tambahnya, wajib menyimpan semua buku terbitan di Indonesia seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1990.

“Tidak peduli isinya tentang apa. Kalau buku dilarang Kejaksaan Agung karena mengandung ideologi yang salah atau pornografi, kami menyimpan dalam satu area. Hanya pihak tertentu boleh mengaksesnya (dengan) seizin kepala Perpustakaan Nasional,” jelas Dady.

Istana sendiri menanggapi aksi razia buku tersebut dengan mengatakan bahwa larangan terhadap paham komunisme harus dengan tetap menghormati kebebasan pers dan akademik. Demikian dikatakan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung.

Presiden Joko Widodo, tegas Pramono, meminta aparat keamanan tak berlebihan, seperti melakukan razia. “Tidak bisa, ini negara demokrasi,” ujar Anung kepada wartawan, 13 Mei 2016.

Dikecam

Razia buku kiri mendapat kecaman dari pengguna media sosial. Salah satunya ialah penggiat Twitter, Wicaksono. Dalam akunnya @ndorokakung, buzzer yang punya lebih dari 200 ribu pengikut itu mencuit, Ada yang mengucapkan Selamat Hari Buku Nasional di negara yang pemerintahnya membakar buku-buku...”

Penulis kenamaan Dee Lestari pun turut mencuit, “Ketika Perpustakaan Nasional ikut fobia. Selamat Hari Buku Nasional”.

Menurut Dady, yang patut ditakuti rakyat Indonesia bukan penyebaran paham komunis, karena ajaran itu sudah tidak lagi populer dan hanya tersisa di beberapa negara.

“Yang dikhawatirkan sekarang itu harusnya ekstremisme kanan. Tapi itu masih belum bisa disinggung pemerintah,” tegas Dady.

Meski buku karyanya tidak termasuk terkena razia, sejarawan Belanda penulis “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia”, Harry A. Poeze, turut berkomentar. Dia menyayangkan aksi razia buku.

“Upaya presiden melarang aksi-aksi (sweeping) ini sangat diperlukan,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Buku-buku berisi biografi tokoh-tokoh kiri, tutur Poeze, cukup objektif dan sekaligus contoh baik penulisan sejarah.

“Ini sangat menyedihkan. Saya melihat masih ada sisa-sisa pemikiran kuno, tidak demokratis dalam tubuh TNI dan polisi,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.